Perkembangan Industri Buku Pada Masa Pandemi Covid-19 Hingga Penjualan Daring Versi Ikapi Jawa Barat

- 17 Mei 2023, 20:05 WIB
Ilustrasi buku fisik.
Ilustrasi buku fisik. /Pexels/Polina Zimmerman/

HARIAN BOGOR RAYA - Industri buku masih tetap menjanjikan meski alami tekanan berat selama pandemi Covid-19.

Saluran penjualan melalui buku digital bertambah, buku suara (audio book), dan penjualan secara daring, dan perkembangan internet tidak mematikan industri buku. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dengan persentase yang berbeda.

Buku sendiri, diketahui sebagai basis peradaban masyarakat. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekira 200-an juta orang, pangsa buku di dalam negeri mencapai Rp14,1 triliun per tahun. 

Baca Juga: Penting! Ketahui Hal yang Merusak Kesehatan, Pandemi Covid-19 di Masa Transisi

Buku sendiri tak cukup didefinisikan sebagai kumpulan informasi yang dicetak di atas kertas. Buku adalah paket informasi dengan penyebarluasan melalui berbagai kanal (platform).

“Dengan banyaknya pilihan media termasuk media sosial seperti sekarang, maka secara teknis buku sudah tidak lagi dominan sebagai media komunikasi. Itu juga berdampak pada industrinya,” kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat Mahfudi.

Tak bisa dipungkiri, tingkat penjualan buku cetak di Indonesia, termasuk Jawa Barat, merosot tajam sejak awal Pandemi Covid-19. Hanya saja, buku yang banyak dibaca bertransformasi dalam bentuk-bentuk baru.

Baca Juga: Publik Tunggu Hasil Analisa Kenaikan Angka Covid-19, Pakar Ingatkan Hal Penting

“Kalau definisinya buku adalah yang dicetak, maka dipastikan turun. Tapi kalau menggunakan definisi baru, justru sekarang penerbitan buku meluber,” ujarnya.

Hal itu dianggapnya sebagai sinyalemen positif, karena semakin banyak buku yang terbit, semakin baik peradaban masyarakat di suatu daerah.

Mahfudi menyebutkan, dalam periode ini banyak sekali penerbit di Jawa Barat yang mati suri. Penyebabnya beragam, salah satunya adalah ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan teknologi baru dan kebutuhan pasar.

Baca Juga: Kemenkes Ajak Pakai Masker Lagi, Waspadai Lonjakan Covid-19 Varian Arcturus

“Di Jabar, kami punya sekitar 450 anggota yang terdaftar. Dalam satu tahun terakhir, yang aktif mungkin maksimal hanya 30 persen saja. Sisanya terdeteksi sudah tidak lagi (menerbitkan buku dalam berbagai platform),” tuturnya.

Di sisi lain, paradoks terjadi. Meski banyak penerbit mati suri, banyak pula penerbit baru yang mendaftarkan diri. Penerbit baru ini kebanyakan dikelola oleh generasi muda, dengan pendekatan yang berbeda. Jika generasi lama yang mendaftar kebanyakan karena mendapatkan proyek dari pemerintah, maka generasi baru ini mendaftar karena mengejar kreativitas.

“Dalam sebulan, ada sekitar 5 hingga 10 penerbit yang mendaftar,” ujar Mahfudi. Sayangnya, keberadaan penerbit didominasi oleh masyarakat perkotaan. Padahal, kreativitas seharusnya bisa menyebar hingga ke seluruh pelosok.

Baca Juga: Dinkes Mengimbau Masyarakat Jakarta Tidak Perlu Panik, Varian Covid-19 Arcturus Belum Ditemukan di DKI

Ekonomi kreatif

Mahfudi menyebutkan, buku adalah basis dari ekonomi kreatif. Maka, ketika karya kreatif dilahirkan, pemasarannya maupun pendistribusiannya di kalangan masyarakat tergantung pada media yang diinginkan atau dibutuhkan masyarakat (alih media).

“Tantangan terbesarnya, bagaimana kita bisa melahirkan karya-karya kreatif yang mumpuni. Kalau dari industrinya kan sebenarnya tinggal geser saja, kalau sekarang percetakan mahal, tinggal buat platform digitalnya saja,” ucapnya.

Dari sisi masyarakat, kebutuhan terhadap buku masih sangat tinggi. Hal tersebut misalnya terjadi di kalangan akademik, karena semakin banyak yang berusaha menyampaikan materi atau pesan-pesan akademiknya melalui buku. Pun dengan kalangan dunia dakwah, yang masih menganggap buku sebagai instrumen yang sangat penting.

Baca Juga: Studi Terbaru Soal Covid-19 Selama Kehamilan, Ibu Hamil Wajib Tahu

Belum lagi di kalangan remaja dan anak-anak. Tingkat ketergantungan terhadap buku masih cukup tinggi.

Hal tersebut juga terlihat dari melonjaknya jumlah ISBN (International Standard Book Number) yang terdaftar di Indonesia beberapa waktu terakhir. Padahal, pada awal 2022, banyak penerbit yang mengalami pemblokiran akun pendaftaran ISBN karena tidak memenuhi kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam.

“Artinya kan buku masih sangat dibutuhkan masyarakat. Persoalannya, secara industri, buku sudah tidak bisa diandalkan sebagai industri massal. Itu yang membuat para penerbit harus berjuang, karena tidak mungkin menerbitkan buku dalam jumlah besar lagi. Penerbitannya harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar, termasuk kanal yang dipilih untuk pemasaran,” tutur Mahfudi.

Baca Juga: Industri Pariwisata Pertanyakan Cara Jadi Lebih Hijau, Ada Beberapa Hambatan Pasca Pandemi Covid-19

Untuk itu, penerbit harus bersedia berinvestasi untuk melalui peralihan tersebut. Meskipun, return yang lama menjadi persoalan tersendiri bagi para penerbit.

Buku digital

CEO Mizan Publika Sari Meutia mengatakan, dilihat dari angka penjualan, kondisi minat baca masyarakat masih belum kembali seperti pada 2019 dan sebelumnya. Hanya saja dibandingkan dengan 2020 hingga 2022, tahun ini sudah menunjukkan kenaikan sekira 10 persen.

Buku-buku yang paling diminati, tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya, yakni buku cerita anak atau buku yang didominasi oleh gambar dibandingkan teks. Buku-buku ini diperuntukkan bagi anak-anak batita dan balita.

Baca Juga: Jeno NCT Dream Positif Covid-19, SM Entertainment Buka Suara Soal Jadwal NCT DREAM

“Kita sekarang ini penjualan yang bagus lewat marketplace dan event-event. Upaya yang terus kami lakukan untuk mendekatkan diri dengan mayarakat adalah dengan menghadirkan berbagai event ke berbagai kota di Indonesia,” ucap Sari pada Selasa, 16 Mei 2023, dilansir dari Pikiran Rakyat.

Di berbagai event tersebut, dihadirkan berbagai buku yang beragam dan murah. Meminjam istilah Sari, ada pula zona kalap yang diperuntukkan bagi masyarakat yang mengincar buku dengan harga ekstra miring. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa buku sulit diakses dan mahal, tak lagi relevan.

“Di luar upaya pemerintah, kami dari penerbit terus berupaya untuk mendekati konsumen sedekat-dekatnya. Sehingga meningkatkan peluang masyarakat untuk membeli buku murah. Itu terus kita gencarkan, untuk terus menghadirkan buku di kalangan masyarakat. Tinggal masyarakatnya yang berminat atau tidak,” tuturnya.

Baca Juga: Berhasil Kendalikan Pandemi Covid-19, Pemerintah Akan Berikan Penghargaan Kepada Pemda

Terhadap minat baca buku digital bagi masyarakat Indonesia, Sari berpendapat bahwa kondisinya masih belum menyamai minta baca buku fisik. Dengan kata lain, perpindahan platform buku fisik menjadi buku digital, tak disertai sepenuhnya oleh peralihan secara radikal terkait kebiasaan membaca masyarakat.

“Kalau untuk e-book, itu masih agak berat karena mahal. Sekarang ini yang lebih diminati adalah buku digital gratis yang dibagikan, itu pun saya menduga bahwa yang masyarakat baca secara fisik tetap lebih banyak dibandingkan yang di-download,” kata Sari. Kondisi yang sama, disebutkan Sari juga masih terlihat di luar negeri.***

Artikel ini telah terbit di Pikiran Rakyat dengan judul  Buku Fisik Tetap Disukai di Tengah Perkembangan Buku Digital

Editor: Maryam Purwoningrum


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah