Kesalahan Pola Pikir di Kalangan Masyarakar Soal Olahraga

17 Mei 2024, 11:08 WIB
ilustrasi olahraga ringan saat puasa. /Freepik/freepik/

HARIAN BOGOR RAYA - Olahraga, selama ini menjadi pola pikir di kalangan masyarakat bahwa itu adalah sebuah hukuman yang harus dijalani seseorang. “Seperti ceritaku waktu SMA, dulu olahraga itu masih menjadi hukuman,” kata Co Founder dari Runhood and Running, Rage Adystra Bimo.

Apalagi, ujarnya, akses dan pengetahuan soal olahraga di kalangan masyarakat kini sudah jauh lebih baik. Masyarakat pun harus menjadikan olahraga sebagai sebuah hobi yang ditekuni atau suatu profesi. Terlebih beberapa orang memiliki potensi sensor motorik yang lebih tinggi daripads kognitifnya.

“Jadi olahraga itu sama kayak kamu belajar matematika atau fisika dan itu sebenarnya bisa jadi salah satu minat untuk anak-anak. Jadi bukan dijadikan sebagai anak tiri atau hukuman, kalau kapabilitas anak di situ, motoriknya lebih tinggi, kenapa enggak difokuskan ke sana karena olahraga bisa jadi profesi. Itu yang aku mau lihat di Indonesia,” katanya yang juga jadi pelatih lari di One Track Mind.

Baca Juga: Sederet Manfaat Kesehatan Fisik dan Mental Bagi Pecinta Olahraga Renang

Sementara, Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Andhika Raspati menjelaskan, sejumlah budaya olahraga di Indonesia yang perlu diubah oleh masyarakat, terutama terkait pola pikir dan porsi sesuai kebutuhan tubuh masing-masing.

“Kalau saya lihat, ini dalam konteks Jakarta dulu, saya lihat di Jakarta ini terbagi jadi dua kubu. Ada kubu mereka yang malas berolahraga dan kubu yang terlalu ekstrem olahraga,” kata dr. Andhika Raspati dilansir dari Antara.

Sebagai seorang konten kreator di bidang kesehatan, ia sering menerima banyak komentar dalam konten yang dirinya unggah di media sosial. Dari komentar tersebut, beberapa orang mengaku malas berolahraga dan hanya melihat olahraga sebagai suatu langkah untuk mengobati penyakit.

Baca Juga: STY Curhat Soal Olahraga Sepak Bola

Hal ini berakhir pada kondisi dimana seseorang baru memulai olahraga ketika mengalami kegemukan (obesitas), hasil medical check-up (MCU) yang buruk, terkena kolestrol, diabetes atau penyakit lainnya.

Temuannya yang lain, yakni adanya kelompok yang terlalu ekstrem berolahraga. Biasanya ditemukan dalam sebuah komunitas yang mengalami kompetisi toksik (toxic competition) di dalamnya.

Ia mencontohkan seringkali ditemukan adanya anggota yang merasa ingin mencapai hasil yang sama dengan anggota lainnya, meski menyadari adanya perbedaan kemampuan diri maupun kualitas dan jenis alat-alat yang digunakan selama berolahraga.

Baca Juga: Penelitian Ungkap Olahraga di Malam Hari dan Peluang Kematian

“Di komunitas sepeda, itu kita suka rombongan padahal sepedanya berbeda-beda. Ada yang frame-nya enteng, ada yang berat. Padahal tadi, kondisi orang juga beda-beda, mungkin ada yang enggak sehat-sehat banget dan mereka dipaksa selalu bareng. Kalau ketinggalan bisa diledek tiga hari, akhirnya dia enggak mau kalah dan push diri, makanya kalau diperhatikan di pletonan itu banyak yang collaps,” ucap dokter tim nasional balap sepeda Indonesia itu.

Sementara temuan lainnya, yakni adanya orangtua yang terlalu ambisius, sehingga mendorong anaknya fokus menguasai olahraga tertentu yang berujung pada putusnya pendidikan.

“Saya harapkan semua orang bisa berada dalam kondisi tengah-tengah, yang malas tahu kalau olahraga bukan Cuma obat tapi jadi investasi supaya enggak sakit, dan yang ekstrem jangan terlalu berlebihan karena olahraga itu ada aturan main. Jadi semua orang bisa olahraga dengan dosis yang tepat,” katanya.***

Editor: Maryam Purwoningrum

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler