Konflik Israel dan Palestina Sempat Berakhir, Sejarah Awal Konflik Bikin Melek Sejarah

12 Oktober 2023, 21:45 WIB
Perang Israel Palestina /Instagram @palestine.pixel

HARIAN BOGOR RAYA - Sewaktu bulan September 2000, pecah gerakan intifada kedua. Gerakan intifada kedua itu memicu perang antara Pasukan Otoritas Palestina dan Angkatan Bersenjata Israel. Konflik tersebut berakhir pada tahun 2005 pasca Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon memerintahkan tentara dan pemukim Yahudi angkat kaki dari Gaza.

Setahun kemudian, Palestina menggelar pemilu. Hamas mendapatkan sebanyak 44 persen suara dalam dewan legislatif Palestina. Israel memberikan respon atas kesuksesan Hamas itu dengan menjatuhkan sanksi ekonomi. Kemudian, Hamas mau menerima hasil perjanjian-perjanjian Palestina-Israel terdahulu, serta mengakui Israel.

Tahun 2007, pecah konflik internal antara Fatah dan Hamas tahun 2007 yang membuat Fatah terusir dari Gaza. Ujung dari konflik internal ini, Israel memblokade Jalur Gaza.

Baca Juga: Rekam Jejak Fesyen di Palestina, Tetap Berkarya dan Hasilkan Produk Meski Konflik Politik Dengan Israel

Arab Saudi lalu memberikan mediasi antara Hamas dan Fatah guna membentuk pemerintah persatuan, dimana Hamas memerintah Gaza, sedangkan Tepi Barat dikelola Otoritas Palestina.

Kemudian, perkembangan berikutnya positif hingga berdampak baik pada peningkatan status Palestina di PBB ketika sejak November 2012. Palestina tak lagi berstatus "pengamat anggota non negara", melainkan "Negara Palestina".

Sayangnya, permusuhan Israel-Palestina tak kunjung padam, bahkan pada tahun 2014 pecah perang di Gaza.

Baca Juga: Kemenlu Minta Warga Negara Indonesia Segera Tinggalkan Palestina dan Israel

Pada periode relatif tenang, kekerasan memuncak lagi ketika pada November 2022 pemerintahan kanan pimpinan Benjamin Netanyahu melibatkan tokoh-tokoh kanan ekstrem, memerintah Israel.

Semasa pemerintahan ini kekerasan pecah hampir sepanjang 2023 di berbagai wilayah Palestina, termasuk Al Aqsa, hingga merenggut korban jiwa yang jumlahnya terbesar sejak 2005.

Pada masa itu diwarnai terobosan diplomatik besar saat empat negara Arab mengikuti jejak Mesir dan Yordania, membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, terobosan itu tak mengubah nasib Palestina, Arab Saudi sebagai negara Arab dan Islam paling berpengaruh, berusaha mengikutinya.

Baca Juga: Pemerintah Indonesia Desak Konflik Israel-Palestina Segera Diakhiri

Saat ekspektasi rekonsiliasi Saudi-Israel itu, pada Sabtu 30 September, Hamas meluncurkan serangan paling maut. Hamas melakukan hal yang tak bisa dilakukan tentara Arab manapun saat berhasil menembus masuk dan menduduki wilayah Israel.

Tidak diketahui pasti apakah serangan ini ada hubungannya dengan upaya rekonsiliasi Saudi-Israel, masih harus didalami lagi. Pastinya, serangan 30 September itu membuka realitas baru mengenai sebesar mana kekuatan Hamas dan seberapa kokoh pertahanan Israel.

Peristiwa itu bisa jadi membuat konflik Palestina-Israel semakin pelik, tapi bisa juga malah mendorong penyelesaian menyeluruh di sana yang diperlukan. Pasalnya, tak mungkin rakyat Palestina dan rakyat Israel yang 21 persen di antaranya etnis Arab, abadi saling menyerang.

Baca Juga: Konflik Israel dan Palestina Meletus, Kemlu RI Desak Permintaan Penting

Pada Mei 2017, pemimpin Hamas saat itu, Khaled Meshaal, menyatakan Hamas menerima Solusi Dua Negara dengan catatan Negara Palestina harus berdiri di wilayah-wilayah yang diduduki Israel pada Perang 1967, termasuk Yerusalem Timur.

Komitmen Hamas itu tak disertai pengakuan negara Israel, tetap saja menjadi kemajuan penting demi Solusi Dua Negara. Setidaknya mulailah dengan mewujudkan Negara Palestina, karena formula lain ternyata tak bisa menghentikan konflik.

 

Pilihan Turki Utsmani Terlibat Perang Dunia 1 dan Nasib Palestina

Tentara Israel kepung Gaza dengan menjatuhkan bom dengan sasaran fasilitas sipil pada konflik Palestina Israel Senin 9 Oktober 2023 malam.

Jika Turki Utsmani tak bergabung dalam Perang Dunia I guna berpihak kepada Jerman dan Austria-Hungaria, mungkin nasib Palestina akan lain. Perang Dunia I berkecamuk dari 1914 sampai 1918.

Baca Juga: Warga Palestina Terluka, Israel Lakukan Serangan Udara di Jalur Gaza

Tak ada yang tahu pasti apa yang mendasari Turki Utsmani melibatkan diri dalam Perang Dunia I, tetapi saat itu Turki Utsmani melemah dijuluki "The Sickman of Europe", terutama setelah kalah dalam Perang Balkan 1912-1913 sehingga kehilangan semua wilayahnya di Eropa.

Ada yang berpandangan keputusan Turki itu didasari upaya mempertahankan kelangsungan hidup imperium yang pernah memiliki wilayah membentang dari Eropa sampai Asia barat itu.

Kondisi Utsmani yang melemah mendorong dua kekuatan kolonial, Inggris dan Prancis, berencana membagi-bagi wilayah Utsmani.

Baca Juga: Laga Tanding FIFA Match day Indonesia-Palestina Berakhir Imbang 0-0

Dan Turki Utsmani pun terpaksa menceburkan diri dalam Perang Dunia Pertama lantaran netral hanya membuat mereka tak berdaya dikerat-kerat Inggris, Prancis dan Rusia. Dengan berpihak, Turki memiliki sekutu yang bisa memulihkan pengaruh globalnya.

Malang bagi Turki Utsmani, mereka berada di pihak yang kalah, sehingga harus menyerahkan wilayahnya kepada Inggris, Prancis dan Rusia. Upaya bagi-bagi wilayah Turki Utsmani itu sudah dirancang sebelum PD I berakhir.

Inggris dan Prancis membuat perjanjian yang mengiris wilayah Turki Utsmani di Timur Tengah sebagai protektorat mereka. Perjanjian itu dinamai "Sykes-Picot Agreement", dari nama dua diplomat Inggris dan Prancis; Mark Sykes dan Francois Georges-Picot.

Baca Juga: Shin Tae Yong Yakin Squad Garuda Mampu Hadapi Palestina di FIFA Match Day Malam ini

Begitu PD I selesai, Inggris dan Prancis mewujudkan Perjanjian Sykes-Picot dengan membagi wilayah Turki di Suriah, Lebanon, Palestina, Irak dan TransJordan ke dalam protektorat mereka. Salah satu yang didapat Inggris adalah Palestina.

Namun, sebelum PD I berkecamuk, sentimen anti Yahudi merebak di Eropa sampai mendorong gerakan Zionisme pada 1897 dengan tujuan mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang didiami warga Arab Palestina. Saat itu Palestina masih wilayah Turki Utsmani.

Setahun sebelum PD I berakhir, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menyurati tokoh Yahudi terkemuka di Inggris, Lionel Walter Rothschild. Keluarga Rothschild kerap dikait-kaitkan dengan berbagai teori konspirasi global, sampai kini.

Baca Juga: Eri Cahyadi Sambut Kedatangan Timnas Indonesia dan Palestina pada Acara FIFA Match Day Meet and Great

Surat Balfour yang memuat 67 kata itu berisi janji Inggris memfasilitasi warga Yahudi mendirikan negara di Palestina yang saat itu 90 persen penduduknya justru orang Arab Palestina. Surat itu disebut Deklarasi Balfour.

Pasca Inggris resmi mendapatkan mandat di Palestina pada 1923, warga Yahudi di Eropa berbondong-bondong pindah ke sana. Eksodus semakin besar pada PD II ketika Jerman Nazi melakukan pembersihan etnis Yahudi di Eropa.

Warga Arab sendiri menentang eksodus itu, dan bangkit mengadakan perlawanan pada 1936-1939. Di bawah perlindungan Inggris, milisi Yahudi melancarkan teror terhadap Arab Palestina sampai merenggut 5.000 warga Palestina.

Baca Juga: PSSI Umumkan Harga Tiket Turnamen Matchday Timnas Indonesia vs Palestina

Pada 1947, jumlah penduduk Yahudi melonjak menjadi 30 persen dari total penduduk Palestina, tapi mereka hanya mendiami 6 persen wilayah.

 

Perang Enam Hari 1967

Pada tahun 1947 pihak PBB yang baru berdiri, mengeluarkan resolusi Rencana Pembagian Palestina yang merekomendasikan berdirinya dua negara dan memandatkan Yerusalem dalam status pengawasan internasional.

Palestina menolak rencana itu karena 56 persen wilayah Palestina mesti diserahkan kepada warga Yahudi, padahal waktu itu, warga Arab Palestina menguasai 94 persen tanah Palestina dan penduduknya 67 persen dari total populasi tanah Palestina.

Baca Juga: Kembali Pasukan Israel Serbu dan Memasuki Ruang Shalat Masjid Al-Aqsa, Sedikitnya 7 Warga Palestina Terluka

Saat situasi kian memanas, Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina pada 14 Mei 1948, yang pada hari itu juga warga Yahudi memproklamasikan berdirinya Israel.

Sehari setelah itu, pecah Perang Arab-Israel yang berakhir pada Januari 1949 setelah Israel mengikat gencatan senjata dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.

Saat sedang perang itu, pada Desember 1948, PBB mengeluarkan Resolusi 194 yang menjamin hak pengungsi Palestina kembali ke tanah yang diduduki Israel. Setahun kemudian pada 1950, Mesir menduduki Jalur Gaza, sedangkan Yordania memerintah Tepi Barat.

Baca Juga: Pengakuan Saksi Mata Soal Polisi Israel Serang Warga Palestina di Pintu Gerbang Masuk Masjid Al Aqsa

Bara konflik terus menyala, tapi perjuangan Palestina tak memiliki struktur kepemimpinan. Lalu, pada 1964, berdiri Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang setahun kemudian disusul Fatah yang menjadi sayap politik PLO.

Hubungan Arab dan Israel sendiri kian panas saja, apalagi saat itu dunia diselimuti Perang Dingin.

Pada 1967 pecah perang selama enam hari antara Israel dan koalisi Arab. Israel memenangkan perang ini dan menduduki wilayah-wilayah Palestina tersisa di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, selain Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Praktis tanah air Palestina dirampas total oleh Israel.

Baca Juga: Kembali Terjadi Ketegangan, Tentara Israel Batasi Warga Palestina Beribadah di Masjid Al-Aqsa

Pada 1973 perang kembali pecah, antara koalisi Suriah-Mesir melawan Israel. Mesir dan Suriah berusaha merebut kembali Golan dan Sinai.

Mesir bisa mengimbangi Israel sehingga memaksa negara itu menyepakati gencatan senjata yang mewajibkan Israel menarik tentara dari Sinai barat.

Dua tahun kemudian pada 4 September 1975, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai yang membuat Israel mengembalikan seluruh Semenanjung Sinai kepada Mesir, dengan imbalan Mesir mengakui Israel yang diikuti pembukaan hubungan diplomatik.

Baca Juga: Temui Presiden Jokowi, Dubes Palestina Beri Apresiasi Untuk Pemerintah Indonesia

Perang kembali pecah pada 1982 ketika Israel menginvasi Lebanon untuk memburu PLO yang berbasis di Lebanon. Tiga tahun kemudian, Israel menarik tentara dari Lebanon setelah PLO juga meninggalkan Lebanon.

Tahun-tahun berikutnya Palestina menggunakan metode baru perlawanan lewat gerakan intifada pada 1987. Setahun kemudian lahir Hamas (Harakah Al Muqawamah Al Islamiyyah atau Gerakan Perlawanan Islam).

Setelah melalui periode panas, pada 1993 dicapai kesepakatan Israel-Palestina di Oslo, Norwegia, yang membolehkan PLO berkantor di Tepi Barat dan Jalur Gaza guna membentuk Otoritas Nasional Palestina. Hamas dan Jihad Islam menolak kesepakatan ini.***

Editor: Maryam Purwoningrum

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler