Penelitian Ungkap Perubahan Lingkungan, Otak, Hingga Perasaan Paranoia

- 27 Juni 2024, 12:11 WIB
ilustrasi penelitian
ilustrasi penelitian /freepik

HARIAN BOGOR RAYA - Para partisipan penelitian harus mencari tahu target terbaik mereka. Dan saat ada perubahan pada lingkungan mereka, partisipan harus berusaha mencari target terbaik yang baru. Demkian dijelaskan Steve Chang, profesor psikologi dan saraf di Universitas Yale.

Perilaku mengklik peserta sebelum dan sesudah berganti pada penelitian itu bisa mengungkap informasi soal bagaimana mereka memandang lingkungan mereka. Termasuk seberapa adaptif perilaku mereka dalam lingkungan yang berubah.  

Mereka tidak hanya menggunakan data penelitian dimana monyet serta manusia mengerjakan tugas yang sama, tapi mereka juga menerapkan analisis komputasi (teknik penyelesaian numerik) yang sama pada kedua dataset.

Baca Juga: Penelitian Ungkap Soal Konsumsi Garam dan Eksim

 “Model komputasi pada dasarnya merupakan serangkaian persamaan yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan suatu perilaku, dan di sini berfungsi sebagai bahasa umum antara data monyet dan manusia. Hal ini juga membantu kita untuk membandingkan keduanya untuk melihat keterkaitan antara data monyet dan data manusia.” ujar Philip Corlett, profesor psikiatri di Sekolah Obat-obatan Yale.

Kapasitas untuk menyesuaikan kepercayaan pada suatu aksi dan konsekuensinya, pada lingkungan yang terus berubah merupakan karakteristik yang menentukan cara kita berpikir tingkat lanjut. Akan tetapi, gangguan pada kemampuan ini dapat berdampak negatif pada cara berpikir dan berperilaku, yang mengarah pada kondisi pikiran seperti paranoia, atau keyakinan bahwa orang lain berniat mencelakai kita. 

Dilansir Neuroscience, Para ilmuwan dari Universitas Yale menemukan bagaimana suatu wilayah di otak bisa menyebabkan timbulnya perasaan paranoia tersebut. Pendekatan baru mereka – termasuk penyesuaian data yang terkumpul dari data manusia dan monyet – juga menawarkan kerangka kerja lintas spesies baru mengenai cara berpikir kita yang mungkin bisa lebih dipahami oleh para peneliti melalui studi pada spesies lain. 

Baca Juga: Penelitian Ungkap Hubungan Ketahanan Terhadap Stres Pada Masa Remaja

Penelitian mereka, dan pendekatan yang mereka gunakan dideskripsikan pada tanggal 13 Juni di jurnal Cell Reports. Meskipun penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa bagian otak dalam paranoia, pemahaman mengenai dasar-dasar saraf paranoia masih terbatas. Dikutip Neuroscience, pada penelitian baru ini, para peneliti dari Yale menganalisis data yang ada dari beberapa studi sebelumnya, dilakukan oleh beberapa laboratorium, baik pada manusia dan juga monyet.

Pada semua studi sebelumnya, manusia dan monyet melakukan tugas yang sama untuk menangkap seberapa tidak stabilnya kepercayaan partisipan pada lingkungan mereka. Para partisipan di setiap penelitian diberikan tiga opsi pada sebuah layar. 

Opsi ini berhubungan dengan kemungkinan yang berbeda untuk menerima sebuah hadiah. Jika partisipan memilih opsi dengan kemungkinan tertinggi menerima sebuah hadiah, mereka akan mendapatkannya dengan lebih sedikit percobaan. Sedangkan opsi dengan kemungkinan terendah akan membutuhkan lebih banyak percobaan. 

Baca Juga: Hasil Penelitian Ungkap Kanker Paru-paru Hingga Perokok dan Mantan Perokok

Sementara itu, partisipan yang memilih opsi ketiga atau sesuatu yang berada di tengah, tidak memiliki informasi mengenai kemungkinan mendapatkan sebuah hadiah dan harus menemukan pilihan terbaik mereka dengan mencoba. Setelah beberapa percobaan tanpa peringatan, opsi probabilitas hadiah tertinggi dan terendah akan berganti.

Pada studi sebelumnya, beberapa monyet memiliki lesi (kerusakan jaringan) yang kecil namun spesifik pada salah satu dari dua bagian otak yang diminati: korteks orbitofrontal (bagian yang menerima dan menggabungkan masukan modalitas sensorik), yang telah dikaitkan dengan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hadiah, atau talamus mediodorsal, yang mengirim informasi lingkungan untuk mengontrol pembuatan keputusan pada otak. 

Di antara partisipan manusia, beberapa dilaporkan memiliki paranoia tinggi dan beberapa tidak. Para peneliti menemukan adanya lesi (kerusakan jaringan) pada kedua bagian otak akan memberikan dampak negatif pada kebiasaan para monyet, namun dengan kebiasaan yang berbeda-beda. Monyet dengan lesi pada korteks orbitofrontal lebih sering terjebak pada opsi yang sama meskipun tidak mendapatkan sebuah hadiah. 

Baca Juga: Hasil Penelitian Ungkap Soal Pemeriksaan Kuku Hingga Risiko Kanker

Di sisi lain, mereka yang memiliki lesi pada talamus mediokorsal menunjukan perubahan perilaku yang tidak menentu meskipun sudah menerima hadiah. Mereka tampaknya menganggap lingkungan mereka tidak stabil. 

Hal ini mirip dengan apa yang diamati oleh para peneliti pada partisipan manusia dengan paranoia yang tinggi. Para peneliti mengatakan bahwa penemuan ini menawarkan informasi baru tentang apa yang terjadi pada otak manusia – dan peran yang mungkin dimainkan oleh talamus mediokorsal – ketika orang-orang mengidap paranoia. Mereka juga menyediakan cara untuk mempelajari perilaku manusia yang kompleks pada hewan yang lebih sederhana. 

“Penelitian ini memungkinkan kita untuk bertanya bagaimana kita bisa menerjemahkan apa yang kita pelajari pada spesies yang lebih sederhana – seperti tikus dan hewan tak bertulang belakang – untuk mempercepat pemahaman pola pikir manusia.” ucap Corlett.

Baca Juga: Hasil Penelitian Ungkap Soal Pasien Diabetes dan Gangguan Makan

Pendekatan ini memungkinkan peneliti menilai bagaimana perawatan farmasi memberi pengaruh pada kondisi seperti paranoia benar-benar bekerja di otak. Jelas Chang, pihaknya bisa menggunakan pendekatan ini untuk menemukan cara baru mengurangi paranoia pada manusia di masa depan.(NJ)***

 

Artikel ini telah terbit di Pikiran Rakyat dengan judul "Para Ilmuwan Menemukan Penyebab Paranoia setelah Meneliti Otak Monyet"

Editor: Maryam Purwoningrum

Sumber: Neuroscience News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah