Kata Psikolog Kecenderungan Budaya Pada Korban Pelecehan Seksual Laki-laki

12 Juli 2023, 16:12 WIB
Ilustrasi Pelecehan Seksual/Antara / Antaranews.com/ /

HARIAN BOGOR RAYA - Budaya dengan kecenderungan menyalahkan korban terjadi di masyarakat membuat korban pelecehan seksual berada di posisi dirugikan.

"Pada laki-laki yang mengalami kekerasan seksual, bebannya menjadi lebih berat, label negatifnya itu, karena ada sterotipe di masyarakat kalau, misalnya, laki-laki itu bukan korban, tetapi, kebanyakan pelaku," kata Psikolog sekaligus Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar, soal korban korban pelecehan seksual.

Jelas Livia, laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual lebih sulit mengungkapkan peristiwa yang dialaminya. Pasalnya, mungkin ada rasa takut terkait anggapan masyarakat tentang korban, apalagi laki-laki dewasa yang dianggap bisa membela diri.

Baca Juga: Bersama Melawan Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Menurut Livia, laki-laki dewasa yang memohon perlindungan kepada LPSK guna melanjutkan kasus pelecehan seksual ke ranah hukum, sangat minim. Stigma di masyarakat bisa jadi membuat korban laki-laki enggan untuk menindaklanjuti kasus pelecehan seksual yang dialaminya.

Sementara, Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika Kusumaningrum menyebut, sebagai psikolog, dia kerap menemukan trauma yang terpendam akibat pelecehan seksual saat laki-laki tersebut melakukan sesi konseling pada usia dewasa atau dalam rentang waktu yang cukup lama dari saat peristiwa pelecehan itu terjadi.

"Mereka baru datang (ke psikolog) dan awalnya bukan datang untuk urusan itu (kasus pelecehan seksual), biasanya datang untuk hal yang lain misalnya relasi dengan pasangan, atau orientasi seksual, atau apapun. Dan dalam proses, akhirnya ketahuan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan dan itu buat mereka masih membekas," kata Nirmala.

Nirmala mengingatkan soal pentingnya setiap individu dalam masyarakat untuk belajar menerima jika pelecehan dan kekerasan seksual memang terjadi, bahkan laki-laki juga dapat menjadi korban. Selain itu, penting pula untuk senantiasa belajar mendengarkan dan mempercayai korban terlebih dahulu, serta belajar membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada di lingkungan sekitar.

Baca Juga: Seorang Guru di Ciamis Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap Muridnya

"Kita perlu bersama-sama untuk mencegah itu (pelecehan seksual). Bukannya ketika ada yang melapor kita kasih stigma. Cegah bareng-bareng karena kalau (pelecehan seksual) didiamkan terus, justru makin besar. Pada akhirnya, yang tidak aman kita sendiri, lho, sebenarnya," kata Nirmala.

Ia pun mengatakan stereotipe gender maskulinitas, yang mengandaikan laki-laki sebagai sosok kuat dan tangguh, dapat membuat seorang laki-laki korban pelecehan seksual memilih untuk bungkam bahkan takut untuk melaporkan kasusnya.

"(Laki-laki) diasumsikan seperti itu (harus kuat dan tidak lemah) sehingga ketika laki-laki mengalami pelecehan, mereka (masyarakat) menganggap 'nggak mungkin ada, harusnya laki-laki itu lawan balik, dong'," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu, dilansir dari ANTARA, Rabu.

Baca Juga: Diduga Tiga Orang Anak Alami Pelecehan Seksual Oleh ODGJ

Nirmala menjelaskan stereotipe gender tersebut sebetulnya dibentuk oleh masyarakat. Padahal, kata dia, laki-laki juga tetap merupakan manusia biasa yang bisa merasa takut dan cemas apabila mengalami pelecehan bahkan kekerasan seksual.

Stereotipe laki-laki harus kuat yang diamini masyarakat dapat membuat stigma pada korban pelecehan seksual menjadi lebih berat. Laki-laki yang mengalami pelecehan pun akhirnya memilih bungkam dan tidak berani melaporkan kasusnya.

"Di negara-negara yang cenderung masih lebih konvensional atau pemikirannya patriarki, pembedaan peran gender masih didikotomikan antara masukulin dan feminin, itu tentu makin sulit untuk laki-laki andaikata mengalami pelecehan untuk melaporkan (kasusnya)," kata Nirmala.***

Editor: Maryam Purwoningrum

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler