"Kita perlu bersama-sama untuk mencegah itu (pelecehan seksual). Bukannya ketika ada yang melapor kita kasih stigma. Cegah bareng-bareng karena kalau (pelecehan seksual) didiamkan terus, justru makin besar. Pada akhirnya, yang tidak aman kita sendiri, lho, sebenarnya," kata Nirmala.
Ia pun mengatakan stereotipe gender maskulinitas, yang mengandaikan laki-laki sebagai sosok kuat dan tangguh, dapat membuat seorang laki-laki korban pelecehan seksual memilih untuk bungkam bahkan takut untuk melaporkan kasusnya.
"(Laki-laki) diasumsikan seperti itu (harus kuat dan tidak lemah) sehingga ketika laki-laki mengalami pelecehan, mereka (masyarakat) menganggap 'nggak mungkin ada, harusnya laki-laki itu lawan balik, dong'," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu, dilansir dari ANTARA, Rabu.
Baca Juga: Diduga Tiga Orang Anak Alami Pelecehan Seksual Oleh ODGJ
Nirmala menjelaskan stereotipe gender tersebut sebetulnya dibentuk oleh masyarakat. Padahal, kata dia, laki-laki juga tetap merupakan manusia biasa yang bisa merasa takut dan cemas apabila mengalami pelecehan bahkan kekerasan seksual.
Stereotipe laki-laki harus kuat yang diamini masyarakat dapat membuat stigma pada korban pelecehan seksual menjadi lebih berat. Laki-laki yang mengalami pelecehan pun akhirnya memilih bungkam dan tidak berani melaporkan kasusnya.
"Di negara-negara yang cenderung masih lebih konvensional atau pemikirannya patriarki, pembedaan peran gender masih didikotomikan antara masukulin dan feminin, itu tentu makin sulit untuk laki-laki andaikata mengalami pelecehan untuk melaporkan (kasusnya)," kata Nirmala.***